KHOTBAH YESUS DI BUKIT : APA ARTINYA MISKIN DI HADAPAN TUHAN?
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5: 3).
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5: 3).
Khotbah
di Bukit adalah judul yang diberikan untuk kumpulan khotbah Tuhan Yesus
sebagaimana yang tercantum dalam Matius pasal 5-7. Nama ini pertama
kali diberikan oleh Agustinus, yang dikenal sebagai the theological
giant of the fourth century, dalam bukunya De Sermone in Monte. Ajaran
dalam Khotbah di Bukit ini ternyata begitu indah, dalam dan agung,
sehingga mau tidak mau membuat kita bertanya siapa sebenarnya Sang Guru
yang mengajarkan standar etika dan moral yang begitu tinggi? Penulis
percaya, Khotbah di Bukit adalah khotbah Yesus, sang Juru Selamat dunia,
kepada dunia yang membutuhkan Injil keselamatan. Sehingga penulis
percaya bahwa Khotbah di Bukit juga mengandung nilai-nilai penginjilan,
di samping ajaran Tuhan terhadap murid-murid-Nya. Seseorang boleh tidak
percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat dunia, ia bisa saja tidak setuju
dengan ajaran-Nya, namun pada waktu ia membaca Khotbah di Bukit, mau
tidak mau dia akan mengakui, mengagumi dan menghormati-Nya. Sungguh,
Khotbah di Bukit merupakan suatu warisan karya tulis Kristiani yang
tiada taranya. Memang, sepanjang masa dalam sejarah umat manusia, baik
dari dunia Barat maupun dunia Timur, belum pernah didengar oleh telinga
manusia ucapan seindah ini: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan
Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5: 3). Apa
arti miskin di hadapan Allah?
Kata “bahagia” berasal dari kata makarios, yang berarti blessed atau “sukacita.” Namun kata “bahagia” yang agaknya lebih mempunyai nuansa Kristen, menunjuk pada sukacita dalam hati dan kehidupan seseorang, bukan yang ditentukan oleh faktor luar atau lahiriah, melainkan karena adanya karya Allah dalam Kristus yang dikaruniakan kepadanya. Dalam delapan Sabda Bahagia ini karya Allah yang dianugerahkan kepada seseorang ialah Kerajaan Allah, melihat Allah, disebut sebagai anak-anak Allah dan upah besar di sorga dan lain-lain, yang kesemuanya tidak lain adalah karya Allah dalam Kristus yang dianugerahkan kepada orang–orang yang berseru, rindu atau merasa miskin di hadapan Allah. Orang inilah yang disebut “bahagia.”
“Miskin di hadapan Allah.” Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk “miskin.” Yang pertama ialah penes, yaitu miskin dalam arti tidak kaya, tidak mempunyai banyak harta, hidup sederhana. Yang kedua ialah ptokhos, yaitu miskin dalam arti sangat miskin, miskin yang tidak mempunyai apa-apa, miskin dalam arti yang apabila tidak ditolong ia akan mati kelaparan. Kata ptokhos inilah yang dipakai oleh Tuhan dalam kalimat di atas: “miskin di hadapan Allah.” Frasa “di hadapan Allah” sebetulnya adalah “dalam roh” atau “in the spirit.” Maka kalimat itu sebenarnya berarti barangsiapa yang secara rohani merasa begitu miskin dan sepenuhnya tergantung kepada Allah, orang itulah yang disebut “berbahagia.” “The emphasis is on piety . . . and on dependence on God, not on material poverty as such” (R.T. France). Karena kemiskinan secara rohani itulah seseorang akan berseru minta tolong kepada Allah, maka Allah akan berkenan menolong dia dan menganugerahkan Kerajaan Sorga kepadanya. “Sebab, barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan!” (Rm. 10: 13). “Poverty of spirit evidences itself by its bringing the individual into the dust before God acknowledging his utter helplessness . . . It is the Spirit emptying the heart of self that Christ may fill it”, demikian kata Arthur Pink.
Jadi kita mengerti bahwa miskin itu sendiri tidaklah membawa kebahagiaan pada seseorang. karena yang dimaksud Yesus ialah miskin secara rohani di hadapan Allah. Orang yang demikian secara naluri akan berseru minta tolong kepada Allah. Maka Allah yang Mahakasih dan Mahamurah pasti akan menyelamatkan orang itu dengan mengaruniakan Kerajaan Sorga kepadanya. Pemazmur mengatakan: “Orang yang miskin berseru, dan Tuhan mendengar, Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya” (34: 7, RSV). Kesadaran akan “miskin” di hadapan Allah adalah awal dari pertobatan seseorang. Sebaliknya orang yang sombong, orang yang kaya, orang yang merasa dirinya hebat dan sebagainya, sering kali sulit untuk merendahkan diri dan percaya pada Tuhan. Kita diingatkan oleh ucapan Yesus yang mengatakan: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk kedalam Kerajaan Allah” (Luk. 18: 24-25).
Kata “empunya” adalah dalam bentuk present, yang berarti pada waktu seseorang merasa dirinya begitu miskin di hadapan Allah dan berseru kepada Allah, maka pada saat itulah ia memiliki Kerajaan Sorga. Hal ini berbicara tentang aspek kekinian dari Kerajaan Sorga. Namun kita mengerti bahwa Kerajaan Sorga juga mempunyai aspek yang akan datang atau future, yang berarti satu hari kelak kita pasti akan memiliki Kerajaan Sorga secara penuh. Dunia mengatakan: “Berbahagialah orang yang kaya, karena merekalah yang empunya kerajaan dunia.” Tetapi Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Inilah perbedaan hakiki antara ajaran Kristus dan ajaran dunia, antara filsafat Kristen dan filsafat dunia.
Sekarang, seberapa jauh kita bisa mengaplikasikan Khotbah di Bukit dalam kehidupan kita sehari-hari? Bagi sebagian besar umat Kristen, Khotbah di Bukit diterima dan dipatuhi dengan penuh iman dan hati yang beribadah. Tetapi sayang, tidak jarang Khotbah di Bukit dibiarkan dan dikesampingkan begitu saja oleh banyak gereja. Memang secara garis besar ada dua pendapat atau pandangan tentang Khotbah di Bukit. Pertama, ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit ini dianggap sebagai suatu ajaran yang tidak mungkin dilakukan atau dituruti, mereka menyebutnya sebagai an impossibble ideal. Misalnya, bagaimana mungkin kita dipanggil untuk mengasihi musuh? Mereka mengatakan: “The Sermon on the Mount is a lot of beautiful idealism, but it isn’t practical” Namun penulis setuju dengan pandangan yang kedua, di mana Khotbah di Bukit dilihat sebagai ajaran yang bisa dan harus dilakukan melalui anugerah dan pertolongan Tuhan. Sebab Yesus mengajarkan ajaran moral dan etika kristen ini adalah untuk dilakukan dan diaplikasikan, bukan hanya untuk didengar atau dikagumi saja. Kami menyadari bahwa ada bagian-bagian yang memang sulit untuk kita mengerti. Tetapi kita dipanggil untuk menghayati dan mengerti dengan benar isi Khotbah di Bukit itu lalu menyediakan hati yang rela untuk mematuhinya. John Stott mengatakan: “Jesus did not give us an academic treatise calculated merely to stimulate the mind. I belive He meant the Sermon on the Mount to be obeyed.” Kita tidak berhak untuk memilah-milah bagian mana dari Alkitab yang praktis dan tidak praktis atau hanya teoritis saja. Kewajiban kita ialah percaya, menerima dan dengan anugerah pertolongan Tuhan belajar menaati Alkitab sebagai firman Tuhan. Amin
Kata “bahagia” berasal dari kata makarios, yang berarti blessed atau “sukacita.” Namun kata “bahagia” yang agaknya lebih mempunyai nuansa Kristen, menunjuk pada sukacita dalam hati dan kehidupan seseorang, bukan yang ditentukan oleh faktor luar atau lahiriah, melainkan karena adanya karya Allah dalam Kristus yang dikaruniakan kepadanya. Dalam delapan Sabda Bahagia ini karya Allah yang dianugerahkan kepada seseorang ialah Kerajaan Allah, melihat Allah, disebut sebagai anak-anak Allah dan upah besar di sorga dan lain-lain, yang kesemuanya tidak lain adalah karya Allah dalam Kristus yang dianugerahkan kepada orang–orang yang berseru, rindu atau merasa miskin di hadapan Allah. Orang inilah yang disebut “bahagia.”
“Miskin di hadapan Allah.” Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk “miskin.” Yang pertama ialah penes, yaitu miskin dalam arti tidak kaya, tidak mempunyai banyak harta, hidup sederhana. Yang kedua ialah ptokhos, yaitu miskin dalam arti sangat miskin, miskin yang tidak mempunyai apa-apa, miskin dalam arti yang apabila tidak ditolong ia akan mati kelaparan. Kata ptokhos inilah yang dipakai oleh Tuhan dalam kalimat di atas: “miskin di hadapan Allah.” Frasa “di hadapan Allah” sebetulnya adalah “dalam roh” atau “in the spirit.” Maka kalimat itu sebenarnya berarti barangsiapa yang secara rohani merasa begitu miskin dan sepenuhnya tergantung kepada Allah, orang itulah yang disebut “berbahagia.” “The emphasis is on piety . . . and on dependence on God, not on material poverty as such” (R.T. France). Karena kemiskinan secara rohani itulah seseorang akan berseru minta tolong kepada Allah, maka Allah akan berkenan menolong dia dan menganugerahkan Kerajaan Sorga kepadanya. “Sebab, barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan!” (Rm. 10: 13). “Poverty of spirit evidences itself by its bringing the individual into the dust before God acknowledging his utter helplessness . . . It is the Spirit emptying the heart of self that Christ may fill it”, demikian kata Arthur Pink.
Jadi kita mengerti bahwa miskin itu sendiri tidaklah membawa kebahagiaan pada seseorang. karena yang dimaksud Yesus ialah miskin secara rohani di hadapan Allah. Orang yang demikian secara naluri akan berseru minta tolong kepada Allah. Maka Allah yang Mahakasih dan Mahamurah pasti akan menyelamatkan orang itu dengan mengaruniakan Kerajaan Sorga kepadanya. Pemazmur mengatakan: “Orang yang miskin berseru, dan Tuhan mendengar, Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya” (34: 7, RSV). Kesadaran akan “miskin” di hadapan Allah adalah awal dari pertobatan seseorang. Sebaliknya orang yang sombong, orang yang kaya, orang yang merasa dirinya hebat dan sebagainya, sering kali sulit untuk merendahkan diri dan percaya pada Tuhan. Kita diingatkan oleh ucapan Yesus yang mengatakan: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk kedalam Kerajaan Allah” (Luk. 18: 24-25).
Kata “empunya” adalah dalam bentuk present, yang berarti pada waktu seseorang merasa dirinya begitu miskin di hadapan Allah dan berseru kepada Allah, maka pada saat itulah ia memiliki Kerajaan Sorga. Hal ini berbicara tentang aspek kekinian dari Kerajaan Sorga. Namun kita mengerti bahwa Kerajaan Sorga juga mempunyai aspek yang akan datang atau future, yang berarti satu hari kelak kita pasti akan memiliki Kerajaan Sorga secara penuh. Dunia mengatakan: “Berbahagialah orang yang kaya, karena merekalah yang empunya kerajaan dunia.” Tetapi Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Inilah perbedaan hakiki antara ajaran Kristus dan ajaran dunia, antara filsafat Kristen dan filsafat dunia.
Sekarang, seberapa jauh kita bisa mengaplikasikan Khotbah di Bukit dalam kehidupan kita sehari-hari? Bagi sebagian besar umat Kristen, Khotbah di Bukit diterima dan dipatuhi dengan penuh iman dan hati yang beribadah. Tetapi sayang, tidak jarang Khotbah di Bukit dibiarkan dan dikesampingkan begitu saja oleh banyak gereja. Memang secara garis besar ada dua pendapat atau pandangan tentang Khotbah di Bukit. Pertama, ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit ini dianggap sebagai suatu ajaran yang tidak mungkin dilakukan atau dituruti, mereka menyebutnya sebagai an impossibble ideal. Misalnya, bagaimana mungkin kita dipanggil untuk mengasihi musuh? Mereka mengatakan: “The Sermon on the Mount is a lot of beautiful idealism, but it isn’t practical” Namun penulis setuju dengan pandangan yang kedua, di mana Khotbah di Bukit dilihat sebagai ajaran yang bisa dan harus dilakukan melalui anugerah dan pertolongan Tuhan. Sebab Yesus mengajarkan ajaran moral dan etika kristen ini adalah untuk dilakukan dan diaplikasikan, bukan hanya untuk didengar atau dikagumi saja. Kami menyadari bahwa ada bagian-bagian yang memang sulit untuk kita mengerti. Tetapi kita dipanggil untuk menghayati dan mengerti dengan benar isi Khotbah di Bukit itu lalu menyediakan hati yang rela untuk mematuhinya. John Stott mengatakan: “Jesus did not give us an academic treatise calculated merely to stimulate the mind. I belive He meant the Sermon on the Mount to be obeyed.” Kita tidak berhak untuk memilah-milah bagian mana dari Alkitab yang praktis dan tidak praktis atau hanya teoritis saja. Kewajiban kita ialah percaya, menerima dan dengan anugerah pertolongan Tuhan belajar menaati Alkitab sebagai firman Tuhan. Amin
0 Comment for "RENUNGAN : APA ARTINYA MISKIN DI HADAPAN ALLAH ?"